Aceh Asia.com | Banda Aceh – Wacana revisi Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) kembali menjadi sorotan tajam publik di Serambi Mekkah. Sejumlah elemen masyarakat menegaskan bahwa revisi tersebut wajib mengacu pada kesepakatan MoU Helsinki tahun 2005, bukan sekadar mengikuti kepentingan politik di Jakarta.
Misbahuddin alias Marcos, dalam keterangannya, Selasa 16 September 2025, manyampaikan, selama hampir dua dekade, masyarakat Aceh dinilai tidak bisa bergerak leluasa karena selalu terbentur aturan pusat yang membatasi pelaksanaan UUPA. “Bagaimana Aceh bisa sejahtera jika pemerintah Indonesia tidak ikhlas memenuhi janji MoU Helsinki” kata Marcos menyambung suara keras yang berkembang di kalangan masyarakat.
Ia menegaskan, keinginan Aceh sederhana, mandiri secara ekonomi dan kewenangan, dengan tujuan menciptakan perdamaian abadi serta memberi kehormatan bagi Indonesia di mata dunia internasional.
Aceh menuntut pengelolaan hasil alam secara adil—70 persen untuk kesejahteraan rakyat Aceh dan 30 persen untuk negara. “Hasil alam Aceh harus benar-benar untuk rakyat Aceh, bukan lagi untuk membangun Jakarta. Cukup sudah kami berikan harta, darah, dan nyawa sejak 1949 hingga 2005. Jangan tipu kami lagi bila ingin perdamaian tetap terjaga,” tegas Marcos.
Kritik tersebut juga dialamatkan kepada Badan Pengelola Migas Aceh (BPMA). Masyarakat mengingatkan agar lembaga itu bekerja sesuai amanat MoU Helsinki. “BPMA lahir karena adanya perdamaian Aceh, bukan jatuh dari langit. Jangan sampai salah mengelola hasil alam sehingga memicu gejolak baru,” katanya.
Kini, mata publik Aceh tertuju pada Presiden Prabowo Subianto. Mereka berharap pemerintah pusat menunjukkan kebijaksanaan dengan benar-benar menghormati butir-butir kesepakatan damai. “Kami tidak meminta lebih, hanya meminta apa yang sudah disepakati dalam MoU Helsinki,” jelasnya.







