Kunjungan Wakil Gubernur Aceh, H. Fadhlullah, SE, ke PT Semen Indonesia pada 30 Juli 2025 membuka harapan baru di pesisir timur Aceh. Usulan agar Pelabuhan Laweung dibuka untuk kepentingan umum perlu diapresiasi, karena selama ini potensi wilayah tersebut belum tergarap optimal. Namun pembangunan pelabuhan tak cukup dilihat dari sisi logistik dan ekonomi semata. Ia juga perlu dibaca sebagai simpul transformasi sosial, ekologis, dan budaya. Sebab, infrastruktur sejatinya bukan sekadar fisik—melainkan tentang kehidupan yang mengalir bersamanya.
Antisipasi Dampak Sosial
Pengalaman berbagai proyek serupa menunjukkan bahwa pembangunan pelabuhan bisa memicu perubahan signifikan dalam kehidupan masyarakat lokal: Akses nelayan terganggu akibat industrialisasi wilayah pesisir Harga tanah naik, kepemilikan lahan bergeser Lapangan kerja diserap pekerja luar UMKM lokal tergeser modal besar Munculnya risiko kesehatan, pencemaran, dan pergeseran sosial-budaya. Semua ini bukan alasan menolak pembangunan. Justru jadi alarm, agar kebijakan tidak melupakan masyarakat yang selama ini hidup berdampingan dengan laut dan tanahnya.
Daya Dukung Lingkungan
Sebagai wilayah pesisir, Laweung punya batas daya dukung. Kajian AMDAL dan evaluasi daya tampung lingkungan sangat penting dilakukan secara terbuka dan partisipatif. Dalam perspektif Islam, bumi adalah amanah. Allah berfirman: “Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi setelah Allah memperbaikinya.” (QS. Al-A’raf: 56)
Mitigasi: Antara Ihtiyar dan Tawakkal
Aceh menyimpan memori besar akan bencana. Maka mitigasi tak boleh hanya menjadi formalitas. Dalam Islam, mitigasi adalah bentuk ihtiyar yang berjalan seiring tawakkal.
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Ikatlah untamu, lalu bertawakkallah kepada Allah.” (HR. Tirmidzi)
Dalam konteks Laweung:
Hifz an-Nafs (perlindungan jiwa): jalur evakuasi dan sistem peringatan dini Mas’uliyyah (tanggung jawab kolektif): sinergi masyarakat, pemerintah, dan swasta
‘Adalah (keadilan): melindungi kelompok rentan Nidzam (ketertiban): tata ruang berbasis risiko
Allah berfirman:
“Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan.” (QS. Al-Baqarah: 195)
Membangun dengan Warga, Bukan di Atas Warga agar pelabuhan memberi manfaat luas: Libatkan warga dalam pemetaan sosial dan forum dengar pendapat
Pastikan porsi kerja bagi tenaga lokal dan UMKM Cegah spekulasi tanah CSR diarahkan pada pelatihan, pendidikan, dan kesehatan masyarakat Sistem mitigasi dibangun sejak awal perencanaan Langkah ini mencerminkan prinsip maqashid syariah: menjaga jiwa, harta, dan kehormatan manusia.
Amanah, Musyawarah, dan Maslahat
Sebagai provinsi bersyariat, pembangunan infrastruktur di Aceh mesti mencerminkan tiga prinsip:
- Amanah: sumber daya untuk kepentingan bersama
- Syura: musyawarah sebagai fondasi partisipasi warga
- Maslahat: manfaat merata, bukan hanya untuk segelintir
Penutup
Pelabuhan Laweung berpotensi jadi simpul logistik timur Aceh. Namun lebih dari itu, ia harus menjadi simpul keadilan sosial, pemulih lingkungan, dan pengangkat martabat masyarakat pesisir.
Karena sebaik-baik pelabuhan, adalah yang menjadi jembatan antara pembangunan dan kehidupan—bukan yang meninggalkan warga di belakang.
Oleh: Eva Herlina, ST, MT
Dosen Teknik Sipil Universitas Abulyatama







