Acehasia.com | Banda Aceh – Tanah Blang Padang di Banda Aceh adalah simpul rumit dari sejarah, identitas, dan sengketa hukum yang belum tuntas. Klaim bahwa tanah ini adalah wakaf dari Sultan Iskandar Muda untuk kemakmuran Masjid Raya Baiturrahman (MRB) merupakan inti dari permasalahan yang berlarut-larut ini. Pemerintah Aceh, melalui Dinas Syariat Islam Aceh, secara tegas menyatakan bahwa Blang Padang adalah tanah wakaf Masjid Raya Baiturrahman Aceh.
K.F.H. Van Langen dan C. Snouck Hurgronje membahas tentang “umong sara” (sering juga ditulis “oemong sara” atau “umeung musara”). Keduanya adalah sarjana Belanda yang mempelajari struktur pemerintahan dan masyarakat Aceh secara mendalam, dan tulisan mereka menjadi sumber penting untuk memahami konsep ini.
K.F.H. Van Langen dalam bukunya “De Inrichting van het Atjehsche Staatsbestuur onder het Sultanaat” (Organisasi Pemerintahan Negara Aceh di Bawah Kesultanan) yang terbit tahun 1888, memberikan penjelasan yang sangat eksplisit mengenai “oemong sara”.
Menurut Van Langen, “oemong sara” adalah sawah-sawah dan perkebunan kelapa serta rumbia yang dianugerahkan oleh para sultan Aceh kepada Imam Masjid Raya. Van Langen secara spesifik menyebutkan bahwa sawah-sawah ini berlokasi di Blang Punge dan Blang Padang.
Poin krusial yang ditekankan Van Langen adalah bahwa tanah-tanah “oemong sara” ini tidak boleh dijual atau diwariskan. Tujuannya sangat spesifik: secara khusus diperuntukkan untuk pemeliharaan dan biaya hidup Imam Masjid Raya, yang dapat mengambil hasil dari tanah tersebut atau mengolahnya sendiri. Ini menunjukkan bahwa “oemong sara” adalah bentuk wakaf yang hasilnya digunakan untuk kesejahteraan institusi keagamaan (mauquf ‘alaih).
Christiaan Snouck Hurgronje, dalam karyanya yang monumental “De Atjèhers” (Orang Aceh), yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai Orang Aceh: Budaya, Masyarakat, dan Politik Kolonial (1906/2019), juga membahas konsep ini. Snouck Hurgronje menggunakan istilah “Tanoh Wakeueh” (dalam bahasa Melayu, Jawa, Sunda disebut “Wakap” atau “Waqf” dalam bahasa Arab) untuk menjelaskan harta benda atau barang yang oleh pemiliknya sudah diserahkan untuk selama-lamanya supaya dipakai untuk tujuan yang sesuai dengan hukum Islam. Ia menjelaskan bahwa “Tanah Wakeueh” dimaksudkan untuk pemakaian atau hasil yang diperoleh dari harta benda tersebut, yang telah ditetapkan oleh pemilik asalnya untuk keperluan Masjid, seperti kebun, perabotan rumah ibadah, dan lain-lain.
Lebih spesifik lagi, Snouck Hurgronje mencatat bahwa sawah-sawah yang telah diwakafkan untuk masjid memiliki istilah tersendiri, yaitu “SARA”. Oleh karena itu, orang lazim menyebutnya “Umong Sara” atau “Umong Sara Meuseugit” atau “Meusara Meuseugit”. Ini menguatkan narasi bahwa “umong sara” adalah sawah wakaf untuk masjid.
Baik Van Langen maupun Snouck Hurgronje sama-sama mengidentifikasi “umong sara” sebagai tanah wakaf (khususnya sawah) yang diperuntukkan bagi operasional dan kesejahteraan Masjid Raya Baiturrahman, khususnya untuk membiayai para imam, khatib, dan bilal. Keduanya menekankan sifat tidak boleh diperjualbelikan atau diwariskan dari tanah wakaf ini. Perbedaan utama terletak pada kedalaman fokus. Van Langen lebih langsung dalam menyebut lokasi Blang Padang dan Blang Punge sebagai bagian dari “oemong sara” yang diwakafkan Sultan Iskandar Muda, sementara Snouck Hurgronje memberikan konteks linguistik dan hukum Islam yang lebih luas tentang istilah “wakaf” dan “sara” itu sendiri.
Tulisan mereka menjadi bukti historis yang kuat bagi klaim bahwa Blang Padang (dan Blang Punge) secara historis adalah tanah wakaf Kesultanan Aceh untuk Masjid Raya Baiturrahman.
Dasar Klaim Tanah Wakaf Sultan Iskandar Muda
Klaim bahwa Blang Padang merupakan tanah wakaf Sultan Iskandar Muda (memerintah 1607-1636 M) didasarkan pada beberapa bukti kuat seperti Catatan Sejarah K.F.H. Van Langen: Buku “De Inrichting Van Het Atjehsche Staatsbestuur Onder Het Sultanaat” (Organisasi Pemerintahan Negara Aceh Di Bawah Kesultanan) karya K.F.H. Van Langen (1888) secara jelas menyebutkan bahwa tanah Blang Padang (bersama Blang Punge) diwakafkan oleh Sultan Iskandar Muda untuk operasional dan kemakmuran Masjid Raya Baiturrahman. Tanah ini, yang dikenal sebagai “oemong sara” (sawah umum), diperuntukkan bagi penghasilan Imam, Khatib, dan Bilal Masjid Raya, serta tidak boleh dijual, diwariskan, dihibahkan, disita, atau ditukar.
Fungsi Historis sebagai “Aloen-Aloen” dan Sawah Masjid: Berdasarkan peta Koetaradja tahun 1915, Blang Padang merupakan alun-alun Kerajaan Aceh. Selain itu, tanah ini juga berfungsi sebagai sawah (umong sara) yang hasilnya, berupa padi dan kelapa, diserahkan ke Masjid Raya untuk pemeliharaan masjid, insentif imam dan bilal.
Status Selama Penjajahan Belanda: Dokumen dan peta era kolonial Belanda, seperti Peta Aceh era kolonial oleh P. C. Roghair (Februari 1875) dan Peta Blad Nomor 310 tahun 1906, menunjukkan bahwa Tanah Blang Padang tidak pernah dikuasai oleh Belanda sebagai fasilitas militer atau dimiliki oleh Koninklijk Nederlandsch-Indische Leger (KNIL Ini mengindikasikan bahwa status wakafnya tetap diakui bahkan oleh penjajah.
Temuan Laporan BPK RI: Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK RI Perwakilan Aceh Nomor 22.A/LHP/XVIII.BAC/05/2024 tanggal 22 Mei 2024 menyatakan bahwa pada masa Sultan Iskandar Muda, Lapangan Blang Padang yang awalnya persawahan rakyat, dibeli oleh Sultan lalu diwakafkan kepada Masjid Raya Baiturrahman. Bukti Sertifikat Tanah Wakaf Blang Punge: Tanah Blang Punge, yang memiliki historis yang sama dengan Blang Padang dan juga diwakafkan oleh Sultan Iskandar Muda, kini telah memiliki Sertipikat Tanah Wakaf Nomor 01.01.000006035.0. Ini menjadi preseden kuat untuk status Blang Padang.
Polemik dan Harapan Penyelesaian
Meskipun bukti-bukti historis dan yuridis yang mendukung status wakaf Blang Padang cukup kuat, tanah ini tercatat sebagai aset Pemerintah Aceh dan saat ini masih ditemukan simbol-simbol yang dipasang oleh Kodam IM/TNI-AD. Pihak TNI-AD melalui Kementerian Keuangan/DJKN pernah berupaya mensertifikatkan tanah Blang Padang pada tahun 2022, namun sertifikat tidak dikeluarkan.
Ada dorongan kuat dari tokoh dan masyarakat Aceh untuk mengembalikan tanah Blang Padang kepada Nazir Masjid Raya Baiturrahman (MRB) Aceh. Pemerintah Aceh telah mengirim tim ke Belanda untuk mencari bukti dan dokumen kepemilikan aset Blang Padang sebagai tanah wakaf MRB Aceh dan menyiapkan surat kepada Presiden RI dengan melampirkan bukti dan dokumen pendukung lainnya.
Gubernur Aceh juga telah mengirim surat resmi kepada Presiden RI pada 17 Juni 2025, memohon penyelesaian status tanah wakaf ini. Dalam surat tersebut, Gubernur Aceh menegaskan bahwa tanah Blang Padang dikuasai secara sepihak oleh TNI Angkatan Darat melalui Kodam Iskandar Muda sejak 20 tahun lalu/pasca Tsunami Aceh, namun secara hukum Islam dan adat Aceh terbukti merupakan tanah wakaf yang pengelolaannya sepatutnya dikembalikan kepada nazir wakaf MRB.
Kekhawatiran dan Jaminan Masa Depan
Muzakkir Manaf, sebagai Gubernur Aceh, diharapkan dapat menjalin komunikasi dengan Presiden Prabowo Subianto untuk menyelesaikan masalah ini. Hubungan dekat antara Prabowo dan Muzakkir Manaf (Mualem) bisa menjadi faktor positif dalam penyelesaian.
Namun, ada kekhawatiran tentang pengelolaan amanah wakaf. Kasus hilangnya pohon Kohler (Kohlerboom) di halaman Masjid Raya Baiturrahman, sebuah situs bersejarah dan simbol perlawanan Aceh terhadap Belanda, menjadi contoh bagaimana amanah wakaf bisa lalai dijaga. Pohon ini, yang dulunya menjadi tempat Kolonel J.H.R. Köhler tewas, memiliki nilai historis yang penting bagi masyarakat Aceh (Abubakar, 2020: 3).
Oleh karena itu, jika Presiden Prabowo mengembalikan tanah Blang Padang kepada nazir MRB, diperlukan jaminan kuat bahwa lapangan tersebut akan dijaga dan difungsikan sebagai Ruang Terbuka Hijau (RTH) secara berkelanjutan, sesuai dengan Qanun Kota Banda Aceh Nomor 3 Tahun 2008 dan Nomor 4 Tahun 2009 yang telah menetapkan Blang Padang sebagai kawasan terbuka hijau. Pemeliharaan dan perawatan Blang Padang oleh Pemkot Banda Aceh selama ini tanpa izin dari pihak manapun, dengan biaya dari APBK Banda Aceh dan APBA Aceh, juga menjadi bukti bahwa fungsinya sebagai RTH publik telah berjalan.
Penyelesaian status Blang Padang ini bukan hanya masalah kepemilikan tanah, tetapi juga tentang pengembalian hak sejarah, menjaga marwah wakaf, dan memastikan ruang publik yang vital ini tetap lestari untuk kemaslahatan masyarakat Aceh.
Penulis : Dr. Al Chaidar Abdurrahman Puteh, M.Si merupakan Dosen Antropologi, Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe, Aceh.







