Acehasia.com | Aceh Besar – Desa Jalin, yang terletak di pedalaman Kecamatan Kota Jantho, Kabupaten Aceh Besar, sejak lama dikenal memiliki hutan dan aliran sungai alami yang menjadi daya tarik bagi wisatasan. Beberapa tahun terakhir, aliran Sungai Krueng Aceh yang membelah desa ini bahkan menjadi lokasi pemandian favorit karena airnya jernih dan deras.
Setiap akhir pekan, sungai tersebut biasanya dipadati wisatawan. Tak jarang pengunjung memilih berkemah di tepi sungai. Selain mandi, sebagian juga menjala ikan endemik seperti keureuling, ileh (beulot), dan jangko untuk dimasak langsung di pinggir aliran sungai.
Namun, sejak awal 2025 kondisi berubah drastis. Debit air menurun, sementara warna air kerap keruh. Mukim Jantho, Darwin, menyebut penurunan kualitas air ini diduga kuat akibat maraknya aktivitas penambangan emas ilegal di hulu sungai, tepatnya di perbatasan Kabupaten Pidie dengan Aceh Besar.
“Sekarang air sungai selalu keruh. Kalau dulu hanya saat hujan dan sebentar saja, tapi kini hampir tak pernah jernih lagi,” keluh Darwin, Minggu (28/9/2025).
Dampak Penambangan Ilegal
Menurut Darwin, penambangan emas ilegal di kawasan hulu bukanlah hal baru. Namun kini dampaknya semakin terasa. Air menjadi keruh, debit berkurang, dan populasi ikan endemik menyusut.
“Ikan keureuling makin sulit ditemukan, sementara jenis ikan jangko sudah hampir punah. Bahkan, tradisi gotong royong mencari ikan untuk kenduri kematian atau acara adat kini tidak lagi semeriah dulu, karena hasil tangkapan terus berkurang,” jelasnya.
Selain mengancam ekosistem, kerusakan sungai ini juga berdampak langsung pada masyarakat. Pasalnya, aliran Krueng Aceh selama ini menjadi sumber utama bahan baku air bersih bagi PDAM Tirta Mon Mata Aceh Besar dan PDAM Tirta Daroy Banda Aceh, yang melayani jutaan pelanggan.

Ironisnya, warga Jalin yang tinggal tepat di tepi sungai justru tidak bisa memanfaatkan air tersebut. Lantaran posisi sungai lebih rendah dari pemukiman, membuat mereka hanya mengandalkan sumur untuk kebutuhan air sehari-hari. Adapun hamparan lahan sawah seluas 150 hektare terpaksa bergantung pada tadah hujan.
“Kami hanya bisa menanam padi sekali setahun. Tidak ada irigasi, tidak ada pompanisasi,” kata Darwin
Harapan Warga
Beberapa tahun lalu, warga Jalin sempat berupaya membuat sistem pompanisasi sederhana dengan pipa secara swadaya. Namun, usaha itu gagal. Mereka berharap pemerintah turun tangan untuk membangun sistem irigasi atau pompanisasi yang memadai.
“Usaha swadaya sudah kami lakukan, tapi tidak berhasil. Harapan kami ada perhatian dari pemerintah,” tambah Darwin.
Sementara itu, Sayed Maimun (48), salah seorang petani dengan lahan warisan seluas empat hektare, masih optimistis. Sejak tahun lalu ia mencoba memasang pipa dari titik sungai yang berada di posisi lebih tinggi, sekitar lima kilometer dari pemukiman. Hingga kini, usahanya baru 40 batang pipa yang telah berhasil dipasang dengan panjang sekitar 240 meter.
“Saya pasang pipa sendiri pelan-pelan, biasanya seminggu sekali kalau ada waktu luang. Air sudah mulai naik, walau belum maksimal. Kalau nanti warga lain melihat hasilnya, saya yakin mereka akan ikut membantu,” ujar Sayed.
Bagi masyarakat Jalin, sungai tidak hanya sumber kehidupan dan tradisi, tetapi juga harapan. Mereka ingin aliran sungai Krueng Aceh kembali jernih, bisa dimanfaatkan untuk wisata, pertanian, serta kebutuhan sehari-hari warga yang selama ini justru hanya bisa menyaksikan sungai dari kejauhan.[]







