AcehAsia.com | Banda Aceh – Dalam riuhnya kehidupan modern yang serba cepat dan digital, penting bagi kita untuk kembali merenungi pesan-pesan abadi dari Rasulullah SAW, salah satunya adalah hadis yang sangat populer: “Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap Muslim.” (HR. Ibnu Majah). Kalimat sederhana ini memuat makna yang luar biasa besar, tidak hanya dalam konteks keagamaan, tapi juga sosial, kultural, bahkan politis.
Hadis ini bukan hanya sebuah ajakan, tapi sebuah kewajiban. Islam menjadikan ilmu sebagai landasan utama dalam membangun peradaban. Tidak heran jika pada masa keemasan Islam, para ilmuwan Muslim seperti Al-Khawarizmi, Ibnu Sina, dan Al-Farabi menjadi mercusuar dunia dalam berbagai bidang dari matematika hingga filsafat, dari kedokteran hingga astronomi.
Namun yang lebih menarik adalah kata ‘setiap Muslim’. Artinya, kewajiban menuntut ilmu tidak hanya berlaku bagi laki-laki, tidak hanya untuk ulama, dan tidak terbatas pada ilmu agama saja. Semua umat Islam, tanpa memandang gender dan status sosial, diperintahkan untuk belajar. Inilah ajaran Islam yang sangat inklusif dan progresif, bahkan jika dibandingkan dengan konsep pendidikan dalam banyak budaya lain pada zamannya.
Sayangnya, dalam praktik kehidupan sehari-hari, semangat menuntut ilmu ini seringkali tergerus oleh rutinitas dan kenyamanan. Banyak yang merasa cukup dengan ilmu yang didapat semasa sekolah, padahal ilmu itu dinamis dan terus berkembang. Di sisi lain, sebagian pihak juga memaknai kewajiban menuntut ilmu secara sempit—seolah hanya terbatas pada mempelajari hukum-hukum fikih atau ibadah ritual, tanpa membuka diri terhadap ilmu sosial, teknologi, dan budaya yang juga sangat penting dalam konteks zaman sekarang.
Di sinilah kita perlu membumikan kembali hadis ini. Menuntut ilmu harus menjadi bagian dari gaya hidup seorang Muslim. Tidak hanya saat muda, tidak hanya saat duduk di bangku sekolah, tapi sepanjang hayat. Semangat belajar bisa diterapkan dalam bentuk membaca buku, mengikuti seminar, mendalami teknologi, atau bahkan berdiskusi kritis di ruang publik. Belajar bisa dilakukan di mana saja, termasuk di ruang digital yang kini menjadi medan baru pencarian ilmu.
Lebih dari itu, menuntut ilmu juga merupakan jalan untuk membebaskan diri dari kebodohan, intoleransi, dan sempitnya cara pandang. Ilmu yang benar akan melahirkan sikap tawadhu, bijak dalam bertindak, dan toleran terhadap perbedaan. Bukankah itu sejatinya cerminan seorang Muslim yang baik?
Dalam dunia yang penuh disinformasi dan fanatisme, umat Islam harus menjadi pelopor dalam gerakan literasi dan pencarian kebenaran ilmiah. Menghidupkan kembali semangat menuntut ilmu adalah langkah strategis dalam membangun masyarakat yang beradab, adil, dan damai.
Maka mari kita jadikan hadis ini bukan sekadar kutipan indah dalam ceramah atau media sosial, tapi sebagai pijakan nyata dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Karena dengan ilmu, hidup kita menjadi lebih terang. Dan dengan ilmu, kita bisa membangun dunia yang lebih baik.
Penulis: Hayatul Lisa Mahasiswa Jurusan Pascasarjana Komunikasi dan Penyiaran Islam Uin Ar-Raniry







