AcehAsia.com | Belanda — Keputusan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia No. 050-145 Tahun 2022 yang menetapkan empat (4) pulau milik Aceh sebagai bagian dari wilayah Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, merupakan tindakan yang melanggar hukum dan mengancam stabilitas nasional. Hal ini disampaikan oleh Faisal Rizal Hasan, eks Sekjen Tapol/Napol Aceh dan eks kombatan GAM Wilayah Peureulak.
Faisal menyatakan bahwa keputusan tersebut mengacu pada Data Wilayah Administrasi Tahun 2020, ketika Direktorat Administrasi Wilayah dijabat oleh Safrizal. Namun, penerbitan keputusan ini melanggar Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dan mengabaikan kewajiban perundang-undangan yang mengharuskan persetujuan Presiden terhadap kebijakan strategis yang berdampak luas.
“Ini bukan sekadar persoalan administratif. Ini tindakan yang dapat mengganggu stabilitas nasional dan mencederai semangat perdamaian yang telah dibangun melalui MoU Helsinki. Presiden harus turun tangan,” ujarnya tegas, Kamis (12/6/2025).
Presiden Harus Ambil Alih Situasi
Faisal mengingatkan bahwa sebagai Kepala Pemerintahan, Presiden memiliki tanggung jawab penuh atas jalannya pemerintahan dan berwenang menunjuk serta memberhentikan para menteri negara yang melanggar peraturan dan kewenangan.
“Kebijakan Menteri Dalam Negeri ini sangat jelas berdampak strategis dan luas, serta tidak mendapat persetujuan DPR Aceh atau DPD RI Dapil Aceh. Artinya, ini kebijakan diam-diam yang bersifat sepihak, mencerminkan penyalahgunaan kewenangan dan harus dibatalkan,” tambahnya.
Keputusan ini dinilai juga bertentangan dengan Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2021 tentang Pemberian Persetujuan Presiden Terhadap Rancangan Peraturan Menteri/Kepala Lembaga. Dalam Perpres tersebut, disebutkan bahwa kebijakan yang berdampak luas, bersifat strategis, menyangkut keamanan dan keuangan negara wajib melalui persetujuan Presiden.
Empat Cara Pencabutan Keputusan Mendagri
Faisal menjelaskan, ada empat cara untuk mencabut keputusan Menteri Dalam Negeri tersebut:
1. Presiden menerbitkan Peraturan Presiden atau Undang-Undang yang membatalkan Keputusan Menteri.
2. Presiden menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) dalam keadaan mendesak.
3. Menteri Dalam Negeri mencabut peraturannya sendiri melalui Peraturan Menteri yang baru.
4. Pengadilan membatalkan keputusan tersebut apabila dianggap cacat hukum.
Namun demikian, Faisal menilai bahwa kemendagri menyarankan Pemerintahan Aceh menggugat ke pengadilan bukanlah solusi tepat.
“Dalam konteks ini, tidak relevan jika beban penyelesaian dilempar ke Pemerintahan Aceh. Ini tanggung jawab pemerintah pusat, bukan perkara regional,” tegasnya.
Tuduhan Pengkhianatan MoU Helsinki dan Aspirasi Rakyat Aceh
Keputusan Kemendagri ini juga dinilai sebagai bentuk pengkhianatan terhadap MoU Helsinki, khususnya terkait batas wilayah dan kewenangan Aceh sebagai daerah otonomi khusus. Tidak adanya konsultasi dan pelibatan masyarakat Aceh menjadi indikasi nyata bahwa semangat rekonsiliasi telah dilanggar.
“Pemerintah pusat harus berhenti melihat Aceh sebagai wilayah yang bisa diatur tanpa dialog. Pengalaman masa lalu menunjukkan, sikap sepihak seperti ini hanya akan menyuburkan ketidakpercayaan dan potensi instabilitas,” tandas Faisal.
Faisal menyerukan agar Presiden Prabowo Subianto mengambil tindakan segera. “Presiden harus membuktikan bahwa pemerintahan saat ini berbeda. Jangan biarkan kesalahan fatal seperti ini mengulang luka lama. Bila perlu, pecat Mendagri Tito Karnavian karena telah menyalahgunakan kewenangannya dan merusak kepercayaan Aceh terhadap pusat,” pungkasnya.[]







