AcehAsia.com | Banda Aceh – Aceh menduduki posisi ke empat penghasil kepiting terbesar Indonesia dengan jumlah produksi sebanyak 1.339 ton. Data ini berasal dari Dirjen Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan (PDSPKP) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dalam booklet Profil Pasar Kepiting yang diterbitkan pada Desember 2023. Menariknya kepiting dengan jenis kepiting bakau menjadi salah satu jenis komoditas yang potensial untuk dikembangkan di desa-desa pesisir di seluruh wilayah Indonesia.
Memiliki tingkat peminat yang tinggi dan diperdagangkan secara global. Peluang inilah yang dilihat oleh Mukhsin yang kini menjadi eksportir kepiting jenis bakau ke pasar Asia. Lima tahun mengembangkan usaha ini, kini ia sudah mampu mengekspor 200 kilogram dengan tujuan Singapura, Taiwan dan Shanghai.
Bermula dari ketidakberhasilannya dalam mengembangkan studio photo. Pria berumur 41 tahun ini kemudian fokus untuk terjun ke pembudidayaan ikan keramba. Dengan satu orang yang bekerja mengurus area perikanannya itu, Mukhsin diberitahu kalau di sekitar tambaknya banyak kepiting ditemukan ketika malam hari.
Melihat potensi ini, ia kemudian mulai memposting kepiting hasil tangkapan dari tambaknya ke sosial media. Melalu via Facebook, pesanan pertamanya pecah dengan permintaan beberapa ton. Permintaan itu langsung berasal dari konsumen Singapura. Namun karena masih terbatasnya kepiting saat itu, ia hanya menyanggupi beberapa kilogram untuk kemudian menjadi awal usahanya di bidang ekspor kepiting bakau.
“Awalnya bareng-barengan sama keramba, sambil melihat mana peluang yang terbaik. Kebetulan di perikanan harga jual juga enggak seberapa, pakan yang kita keluarkan juga besar, temponya lama. Melihat peluang kepiting ini besar, terus harga jual bagus, waktu kita budidaya enggak lama, lebih mencolok, jadi pilih lah ini,” ungkap Mukhsin kepada AcehAsia.com saat sedang mengawasi kepiting-kepiting di kediamannya di Ulee Pata, Kecamatan Jaya Baru, Kota Banda Aceh, Aceh.
Ia menjelaskan premium seafood yang satu ini sedang naik daun di pasar ekspor. Harganya hampir mampu menyaingi lobster yang berharga ratusan ribu bahkan sampai satu jutaan. Peminatnya pun tak kalah berkelas, banyak restoran dan hotel bintang lima di luar negeri, khususnya Asia mulai memasok kepiting bakau untuk para konsumennya.
Dengan permintaan yang mencapai 50 kilogram dalam sepekan, ditambah fokus marketnya tidak hanya lokal tapi sudah ke Asia, pria yang akrab dipanggil Boy melihat usahanya harus dikembangkan lagi. Tak hanya kepiting bakau hijau, kepiting bakau merah juga banyak diminati di pasar Shanghai. Ia kemudian menjalin hubungan dengan dua orang penambak yang berlokasi di Labuy dan Kajhu. Hal ini dilakukan agar bisnisnya bertahan dan mampu memberi peluang untuk para penambak khususnya di sektor kepiting.
“Untuk saat ini sudah 5 tahun, saya sudah menjajaki kerjasama dengan petambak. Jadi karena kita ingin memaksimalkan hasil jadi saya sudah mulai berikan informasi kepada petani tambak, saya suruh budidaya kepiting jenis ini dan saya beli dengan harga bagus,” jelasnya pada Kamis (15/5/2025).
Potensi alam Aceh yang mendukung, membuat air tambak jernih dan tidak keruh. Hal ini sangat mempengaruhi kualitas dari kepiting yang nantinya akan dipanen. Boy mengungkapkan orang asing menaruh minat yang besar pada kualitas setiap barang ekspor, terkhususnya pada premium seafood yang satu ini. Dengan kualitas yang dipengaruhi dari lingkungan tambak, kepiting bakau hijau dari tambak Banda Aceh dan Aceh Besar ini rata-rata memiliki aroma yang lebih stabil, isi yang lebih gurih dan juga ukuran yang mampu mencapai 2 (dua) kilogram untuk satu ekor.

Proses pembudidayaan Kepiting Bakau Hijau dilakukannya langsung ditambak. Ia menjelaskan bahwa lebih memilih untuk membudidaya langsung dari alam daripada harus membudidaya di tempat buatannya. Selain untuk meringankan pekerjaan yang dikelolanya sendiri, kepiting yang hidup di alam langsung dari sejak bibitnya, terbukti lebih kuat dari hasil penangkaran buatan. Siapa sangka, hal ini membuat kepiting yang diekspor Boy memiliki kualitas yang bagus dan mampu menarik banyak konsumen luar negeri.
“Prinsip ekspor itu kalau nama kita baik, itu pasti bakalan dicari terus karena orang luar negeri itu yang penting produknya seperti apa, mereka tidak akan kemakan dengan iklan, itu orang luar negeri. Kalau sudah penasaran sama punya kita, dia akan datang, atau minta sample melalu agen dari situ,” ujar Boy.
Kepiting yang dibawa penambak ke kediaman Boy kemudian dilakukan penyortiran. Mulai dari segi jenis, ukuran, hingga permasalahan dari produknya, dipilah dan dikelompokkan ke grade A, B, reject dan BS. Biasanya grade A akan dikhususkan untuk diekspor ke Singapura, grade B diprioritaskan untuk pasar Taiwan dan Shanghai. Sedang reject dan BS akan dipisahkan untuk dijual kembali di pasar-pasar tradisional.
Sebanyak 95% kepiting yang sudah disortir tidak lagi memerlukan penanganan lebih. Ia menuturkan kepiting tersebut mampu bertahan sampai berhari-hari dalam kolam penyegaran. Setiap kepiting diisi dalam jerigen terpisah, karena kepiting merupakan jenis binatang buas yang akan berkelahi jika disatukan dengan sesama jenisnya. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi berkurangnya kualitas dari si kepiting.
“Kalau patah-patah gabisa di ekspor lagi, jadi harus dikurung. Metodenya sederhana saja pakai jerigen bekas,” katanya.

Market tawaran yang dikembangkan oleh Boy membuatnya lebih gampang untuk memasok kepiting tiap minggu. Biasanya ketika permintaan untuk weekend meningkat, pasokannya akan dikirim di hari Jumat. Pasar Singapura biasanya akan membeli kepiting bakau hijau dari harga Rp.500 ribu per kilogram sampai Rp.530 ribu. Tak hanya untuk konsumen Singapura, ia juga mengirim ke beberapa kota di Indonesia seperti Medan, mulai dari ukuran 500 gram.
Dalam menjalankan bisnis ekspor kepiting, Boy mengaku tidak banyak kendala dan tantangan yang dialaminya. Ia mengungkapkan hanya ada kendala dalam proses pengiriman produknya di cargo. Masalah pesawat delay yang tidak bisa terelakkan kadang-kadang membuat kualitas kepiting jadi menurun. Meskipun ia sudah menggunakan pesawat garuda, Boy tetap harus memutar otak mencari antisipasi permasalahan tersebut.
“Cuma terkadang ada aja kendala, kaya delay tapi gapapa kita sudah antisipasilah, jaringannya kan lama-lama sudah banyak juga, ada yang bantu. Kalau misalkan enggak masuk ke luar negeri, nanti langsung dialihkan ke Medan gitu,” jelasnya.
Boy memiliki rencana ke depan untuk terus bisa bermitra dengan sebanyak-banyaknya penambak. Keuntungan yang diberikan oleh Boy berupa bibit kepiting unggul dan juga sosialisasi untuk membudidaya hewan tersebut. Ia berharap peran pemerintah untuk mendukung usaha ekspor ini, melihat tingginya peluang yang bisa dimanfaatkan oleh anak anak muda.
“Saya mau mengajak anak muda yang kira-kira belum memiliki pekerjaan tetap atau belum bekerja, apa salahnya daripada nganggur, nongkrong aja, ayo kita coba maksimalkan hasil alam kita. Untuk sektor kepiting bagi yang mempunyai peluang, mungkin di rumah punya tambak kosong ayo budidaya kita akan bantu, dan pemerintah harus bantu dan mendukung masyarakat yang lagi memproduksi,” tutur Boy.
Dengan harapan meningkatkan daya beli masyarakat luar terhadap produk Aceh, ia menekankan pentingnya peran generasi muda dalam mendorong kemajuan daerah. Ia mengajak anak muda untuk memiliki kemauan kuat dan tidak bergantung sepenuhnya pada pemerintah.
“Coba berprinsip kalau bukan saya yang memajukan, siapa lagi yang memajukan, dari diri kita sendiri lah,” tutupnya,(Rin)







