AcehAsia.com | Jakarta – Forest Watch Indonesia (FWI) menilai upaya Indonesia untuk menurunkan laju deforestasi demi mencapai target pengurangan emisi 2030 gagal arah dan kontradiktif dengan strategi yang dirancang dalam dokumen FoLU Net Sink 2030. Padahal, dokumen yang dirilis Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) itu menargetkan 60% kontribusi penurunan emisi berasal dari sektor kehutanan dan penggunaan lahan.
“Total laju deforestasi selama dua tahun setelah dokumen FoLU disahkan mencapai 1,93 juta hektare, melebihi kuota pengurangan deforestasi versi Kementerian,” ungkap Anggi Putra Prayoga, Juru Kampanye FWI, dalam keterangannya, Kamis (20/06/2025).
FWI mencatat deforestasi secara terencana masih berlangsung dalam konsesi hutan seperti PBPH (Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan), termasuk hutan alam, hutan tanaman, dan restorasi ekosistem. Anggi juga menyoroti pembukaan kebun sawit lewat pelepasan kawasan hutan sebagai penyebab utama kerusakan.
“Deforestasi 375 ribu hektare dalam PBPH seharusnya bisa dicegah bila Kementerian tidak menyetujui rencana usaha perusahaan. Hutan dirusak, sawit dibangun,” jelasnya.
Data FWI menunjukkan 1,66 juta hektare deforestasi terjadi dalam kawasan yang diklaim negara sebagai hutan, membuat target minus 577 ribu hektare pada 2030 menjadi mustahil dicapai jika tren ini berlanjut. Sementara itu, akademisi lingkungan menyoroti revisi UU Kehutanan yang masuk Prolegnas 2025 sebagai momentum krusial untuk perubahan.
“Sekitar 66% ruang hidup masyarakat telah ditetapkan sebagai kawasan hutan. Tata kelola kawasan hutan sudah destruktif karena hanya dimaknai sebagai komoditas,” ujar Prof Agustinus Kastanya dari Universitas Pattimura.
Senada, Dr. Andi Chairil Ichsan dari Universitas Mataram menekankan perlunya redefinisi istilah seperti hutan dan deforestasi. Ia menilai regulasi turunan UU Cipta Kerja telah membiaskan makna kawasan hutan untuk kepentingan industri pangan, energi, dan tambang. Prof. La Ode M. Aslan dari Universitas Halu Oleo bahkan mengungkapkan 242 pulau kecil telah dikaveling tambang dengan total luas mencapai 245 ribu hektare.
“Tambang di pulau kecil tidak hanya merusak daratan, tapi juga mencemari sungai dan laut. Di Kabaena, Sulawesi Tenggara, masyarakat pesisir terdampak logam berat akibat aktivitas tambang,” ungkapnya.
FWI mendesak agar revisi UU Kehutanan tidak menjadi alat akomodasi kepentingan industri, melainkan menjadi instrumen perlindungan ekosistem hutan, masyarakat adat, dan komunitas lokal.[]







