AcehAsia.com | Aceh Besar – Tradisi memasak Ie Bu Asyura bukan sekadar kegiatan kuliner tahunan, tetapi menjadi ruang perjumpaan sosial yang mempererat silaturahmi warga lintas generasi. Di Gampong Lam Ara, Kecamatan Montasik, Kabupaten Aceh Besar, semangat gotong royong ini tampak jelas setiap kali 10 Muharram tiba.
Usai salat subuh, warga mulai berdatangan ke komplek meunasah. Ada yang membawa bahan makanan, ada yang membantu memasak, dan lainnya sibuk mendirikan tenda serta menyiapkan dapur darurat dari tungku sekam kayu. Semuanya dilakukan dengan semangat kerja sama yang kuat.
“Setiap tahun, tiap 10 Muharram, kami mulai merencanakan bersama. Ada panitia, ada musyawarah warga, semuanya dilibatkan,” kata Widia, Bendahara Tim Penggerak Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (PKK), pada Minggu (06/07/2025).
Ie Bu Asyura ini dimasak dalam jumlah besar, yaitu mencapai 130 kilogram. Bubur tersebut nantinya akan dibagikan merata ke seluruh warga. Isinya meliputi ketan putih dan hitam, kacang hijau, kacang tanah, jagung manis, hingga umbi-umbian lokal. Menurut Widia, semua bahan itu mengandung simbol kebersamaan dan nilai spiritual.
“Bahan-bahannya punya makna. Tapi yang paling penting adalah nilai kebersamaan, kolaborasi, dan silaturahmi. Ada yang sumbang uang, ada yang sumbang tenaga atau bahan pangan. Semua bisa terlibat,” ujarnya.
Walaupun didominasi oleh perempuan, mulai dari menyiapkan bahan, mengaduk selama berjam-jam di atas tungku sekam kayu, hingga menyajikan bubur untuk dibagikan. Namun keberadaan para pemuda gampong juga turut terlibat dalam logistik seperti mendirikan tenda dan mempersiapkan kayu bakar.
“Masak bubur memang identik dengan ibu-ibu. Tapi kami tidak bisa lepas dari bantuan bapak-bapak dan anak muda. Semua terlibat sesuai kapasitasnya,” tambah Widia.

Sementara itu, Zalikha, Ketua PKK Gampong Lam Raya, menyoroti sisi teknis dari kegiatan ini. Ia mengatakan bahwa racikan bubur mengalami penyesuaian, tetapi tetap mempertahankan unsur tradisional.
“Kalau dulu untuk mempercantik buburnya, ditambahkan sagu, kalau sekarang sudah ada mutiara sagu namanya. Itu adanya kebaharuan gitu,” ujarnya.
Menariknya, kegiatan ini nyaris tak menemui hambatan berarti. Menurut Zalikha, selama warga sepakat dan saling mendukung, semua berjalan lancar. Bahkan, kegiatan ini sudah menjadi agenda rutin tahunan yang selalu direncanakan jauh-jauh hari sebelum bulan Muharram tiba.
“Alhamdulillah, tiap momen seperti ini semua warga bergerak. Tidak ada tantangan berarti, karena semangatnya sudah sama,” ungkapnya.
Dukungan dari Pemerintah Aceh Besar turut memperkuat eksistensi tradisi ini. Zalikha menyebut bahwa dari masa ke masa, pemerintah daerah senantiasa memberi ruang, baik secara regulasi maupun anggaran, melalui kebijakan yang memungkinkan perayaan hari besar keagamaan berjalan tanpa hambatan. Meski begitu, kegiatan ini tetap lebih banyak dijalankan secara swadaya melalui sumbangan sukarela dari masyarakat.
“Orang Aceh kalau bisa bersedekah itu sangat bahagia hatinya. Karena itulah kekayaan yang tersimpan untuk yaumil akhir,” tambahnya.(Rin)







