Acehasia.com | Banda Aceh – Pembangunan perdamaian di Aceh sudah seharusnya menjadi mainstream pembangunan, mengingat keberadaan Aceh sebagai daerah paska konflik, dan besarnya tantangan merawat damai. Damai harus dirasakan oleh semua kelompok, tampa terkecuali.
Minimnya integrasi gender pada isu perdamian di Rancangan RPJMA Aceh, akan berpeluang menjadikan pembangunan rentan menimbulkan ketidak adilan, termasuk bagi perempuan, anak, disabilitas, lansia, serta kelompok rentan lainnya. Atas dasar inilah maka Balaisyura berinisiatif melakukan Workshop “Review dan Strategi Integrasi Gender pada Isu Perdamaian dalam RPJMA 2025 -2029.
Kegiatan yang dilaksanakan tanggal 29-31 Juli 2025 di Hotel Kryad Muraya Banda Aceh ini terselenggara sebagai hasil kerjasama Balai Syura dengan BAPPEDA, BAPPENAS, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, serta dengan dukungan UN Women.
Gubernur Aceh, dalam hal ini diwakili oleh staf ahli gubernur Bidang Pemerintahan, hukum dan politik, Drs. Mahdi Efendi, dalam pidato pembukaannya mengungkapkan pemerintah Aceh menyambut baik gagasan dalam workshop ini, ia menekankan perdamaian harus dapat dirasakan oleh setiap individu tanpa terhalang gender.
“Pemerintah Aceh menyambut baik kegiatan workshop ini, menjadi bukti kesungguhan semua pihak dalam membangun Aceh secara kolaboratif. Pembangunan perdamaian adalah dinamika pembangunan yg khas Aceh. Meski secara nasional tidak muncul dalam indikator spesifik, tapi pembangunan di Aceh harus mampu memainstreamingkan isu perdamaian dalam pembangunan di semua sektor pembangunan,” katanya.
Lanjut Mahdi, ruang perdamaian yang telah dinikmati selama dua dekade harus terus disempurnakan dalam wujudnya. Damai harus dapat dinikmati secara merata oleh semua kelompok termasuk perempuan.
“Karenanya integrasi gender dalam pembangunan menjadi satu keharusan sebagai bagian upaya memastikan pembangunan mampu memberikan akses partisipasi kontrol dan manfaat yang setara dan adil bagi semua,”lanjutnya.
Hosiana Anggreni yang mewakili UN Women menyampaikan dalam sambutannya bahwa diantara hal penting yang harus dikedepankan adalah bagaimana mengupayakan solusi praktis dari masalah yang ada.
“Kami percaya bahwa Aceh bisa menjadi contoh nyata bagaimana isu perempuan, perdamaian dan keamanan bukan hanya di level wacana, tapi terintergrasi juga di dalam dokumen perencanaan dan penganggaran daerah termasuk di dalam inikator indikator, kegiatan prioritas, dan evaluasi kinerjanya nanti. Hosiana selanjutnya mengajak semua pihak untuk memanfaatkan ruang perencanaan pembangunan untuk memperkuat keberlanjutan damai di Aceh dan memastikan tidak ada yang tertinggal dalam proses pembangunan,” ujarnya.
Fasilitator dan narasumber kegiatan yang merupakan tim kolaborasi UN Women (Nurul Hilaliyah & Lisniawati), Kementerian PP-PA (Dr. Amurwani Dwi Lestariningsih, S.Sos., M.Hum), BAPPENAS (M. Zul Fauzi Sinapoy), BAPPEDA (Cut Triana) dan Balaisyura (Suraiya Kamaruzzaman, Norma Manalu, Rasyidah, Ani Darliani, dan Rukiyah Hanum)
Workshop yang berlangsung selama tiga hari diikuti secara serius oleh oleh 54 peserta yang merupakan representasi dari unsur pemerintahan Provinsi hingga lembaga swadaya masyarakat (LSM)
Kegiatan ditutup oleh Kepala Bidang Program dan Pendanaan Pembangunan BAPPEDA ACEH, Muhammad Ikhsan, ST, MT, M. Eng, sekaligus penyampaian secara simbolis hasil workshop berupa rekomendasi integrasi gender pada bidang perdamaian di RPJMA 2025-2029. M.Ikhsan menyampaikan terimakasih atas hasil yang telah dirumuskan yaitu:
1). Masukan Tertulis Pada RPJMA 2025-2029 khususnya integrasi gender pada bidang perdamaian.
2).Hasil belajar bersama untuk masukan terhadap Renstra SKPA dan SKPK yang berkaitan dengan membangun perdamaian di Aceh. Ikhsan juga menyampaikan terimakasih untuk semua pihak yang senantiasa berfikir dan berbuat untuk kebaikan bersama Aceh, termasuk untuk mendukung kegiatan kali ini, yaitu kepada UN Women, Bappenas, Kementerian PP dan PA, dan Balai Syura Ureung Inong Aceh.[]







