AcehAsia.com | Banda Aceh – Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) mendorong Aceh menjadi pusat pertumbuhan ekonomi kreatif unggulan nasional. Masuk ke dalam 15 provinsi prioritas, Rian Firmansyah, Staf Khusus Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Bidang Isu Strategis dan Antar Lembaga, menyatakan bahwa sinyal positif terlihat dari berbagai lini di Aceh. Komitmen pemerintah daerah, akademisi, hingga pelaku usaha dinilai menjadi kekuatan besar dalam mendorong kebangkitan sektor kreatif.
“Kita melihat ada semangat yang sama antara pusat dan daerah. Dari Presiden, kementerian, provinsi, kabupaten/kota, kampus, hingga media lokal, semua menyambut dengan antusias,” kata Rian dalam kegiatan “Peningkatan Kompetensi Bagi Komunitas Ekonomi Kreatif” yang digelar di Hoco Lamteumen, Banda Aceh, pada Jumat (24/05/2025).
Dari 17 subsektor ekonomi kreatif, Aceh dinilai memiliki potensi menonjol di bidang parfum, musik, film, dan fashion. Salah satu proyek yang kini disorot adalah pengembangan parfum berbasis bahan lokal, nilam. Kota Banda Aceh bahkan resmi dideklarasikan sebagai Kota Parfum, hasil kolaborasi antara Pemerintah Kota, Universitas Syiah Kuala (USK), dan Kemenparekraf.
“Kami sudah 10 tahun lebih meneliti potensi nilam. Sekarang kita dorong hilirisasi dengan sinergi lintas sektor,” ujar Rektor USK, Prof Marwan.

Ia menambahkan, kampus juga mengembangkan program kewirausahaan digital dan mendorong mahasiswa untuk menghidupkan potensi lokal dalam bentuk startup kreatif.
Kementerian menilai, untuk menjadikan Aceh sebagai lokomotif ekonomi kreatif, dibutuhkan penguatan pada sektor sumber daya manusia dan legalitas produk. Hal ini ditegaskan oleh Sekretaris Umum Badan Ekonomi Kreatif, Dessy Ruhati. Ia menyebut bahwa talenta kreatif Aceh harus disiapkan untuk bersaing di pasar global.
“Sekarang tidak ada lagi istilah talenta lokal. Semua punya nilai jual yang sama jika disiapkan dengan kompetensi yang memadai,” tegasnya.
Salah satu fokus utama pemerintah adalah mendorong sertifikasi kompetensi dan produk. Untuk subsektor parfum, misalnya, diperlukan sertifikasi nasional dan internasional, termasuk sertifikat halal. Menurut Dessy, legalitas dan standar mutu produk akan menjadi kunci utama agar pelaku usaha dapat mengakses pasar ekspor dan pembiayaan.
“Contohnya seperti yoghurt Shawshaly yang sekarang punya gerai di Uni Emirat Arab dan Filipina. Mereka lolos karena sudah tersertifikasi, baik produk maupun SDM-nya,” ungkapnya.
Dalam kegiatan yang difokuskan pada penguatan personal branding dan perlindungan kekayaan intelektual itu, peserta dibekali materi tentang pentingnya mendaftarkan karya dan produk ke lembaga hukum resmi. Langkah ini diyakini bisa melindungi pelaku usaha dari risiko pembajakan sekaligus meningkatkan nilai tawar di mata investor dan pasar global.(Rin)







