Aceh Asia.com | Jakarta – Sejumlah eks kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dari Sagoe Malikussaleh, Daerah II Wilayah Samudera Pasee, menyuarakan kekecewaan atas mandeknya implementasi butir-butir kesepakatan MoU Helsinki yang sudah berjalan 20 tahun.
Mereka secara terbuka menantang Juha Christensen, tokoh kunci perundingan damai, dan Uni Eropa untuk kembali turun tangan menuntaskan proses perdamaian Aceh.
Dalam keterangannya, Misbahuddin Marcos, Rabu 20 Agustus 2025, menilai Uni Eropa sebagai pihak penerima Nobel Perdamaian turut bertanggung jawab atas keberlangsungan kesepakatan damai Aceh.
“Jangan lepas tangan soal Aceh, karena sepuluh tahun ke depan kita tidak bisa prediksi kondisi Aceh, apalagi dengan Indonesia yang tidak ikhlas,” tegas Marcos.
Mereka juga menuding pemerintah Indonesia masih mengeksploitasi sumber daya alam Aceh, baik darat maupun laut, tanpa pembagian hasil yang jelas sesuai ketentuan MoU Helsinki dan PP No.23 Tahun 2015.
Jika kondisi ini dibiarkan, menurut Marcos, maka penghargaan Nobel yang pernah diraih dalam proses perdamaian Aceh layak dikembalikan kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York.
“Kami berharap Juha Christensen dan Uni Eropa segera membentuk tim khusus untuk memastikan fase baru perdamaian Aceh berjalan sebagaimana mestinya. Pak Juha jangan main api dengan Aceh, kami punya wilayah, bangsa, bahasa, sejarah, bahkan bentuk pemerintahan monarki yang harus dihargai,” lanjutnya.
Mereka juga memperingatkan bahwa jika desakan itu diabaikan, maka ada kemungkinan akan ditempuh jalan lain yang disebut sebagai “jalan yang ditakuti semua pihak” Sebutnya.






