Acehasia.com | Banda Aceh – Ratusan masyarakat Aceh dari berbagai daerah padati jalan depan kantor gubernur. Spanduk dilentangkan bertuliskan tolak pendirian batalion di Aceh, tentara penjaga bukan penguasa serta tuntaskan pelanggaran HAM berat di Aceh Senin (07/07/2025).
Aksi ini diikuti oleh laki laki dan perempuan dari berbagai usia, mulai dari remaja hingga paruh baya. Unjuk rasa ini Berlangsung mulai pukul 09.10 pagi tadi. Menurut pantauan Acehasia.com, hingga pukul 14.00 pemerintah Aceh belum merespon tuntutan massa.
Yulinda Wati, Koordinator aksi menyebutkan aksi yang dilakukan ini tujuan utamanya adalah mempersatukan kembali seluruh masyarakat Aceh yang sempat berpencar akibat politik.
“Karena ada isu masalah 4 pulau Singkil, akhirnya orang Aceh bersuara dan bersatu. Kita kembali menyatukan kembali rakyat Aceh,” ujarnya.
Menurut pernyataan Yulinda, ada sekitar seribu masyarakat awalnya akan turun ke jalan. Namun hanya ratusan yang mengikuti aksi ini. Menurutnya hal ini disebabkan oleh Framing sehingga masyarakat takut dan tidak melakukan aksi.
Menurut pantauan Acehasia.com masyarakat yang melakukan orasi berasal dari beberapa daerah. Diantaranya Abdya, Aceh Utara, hingga Pidie.
“Ini sebenarnya seluruh Aceh, dari Tamiang hingga barat selatan. Kami tergabung dalam aliansi masyarakat Aceh menggugat,” kata Yulinda
Adapun poin tuntan massa yakni:
1. Menuntut pemerintah mencabut SK Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 yang dikeluarkan 25 April lalu, keputusan tersebut menetapkan 4 pulau Singkil yakni Pulau Lipan, Pulau Panjang, Pulau Mangkir Besar, dan Pulau Mangkir Kecil masuk wilayah administrasi Sumatera Utara. Meskipun akhirnya 4 pulau tersebut kembali menjadi milik Aceh, SK yang dikeluarkan 25 April belum ditarik.
2. Menuntut Tito Karnavian, Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia agar segela diadili karena telah membuat gaduh Aceh
3. Menolak pendirian batalion di Aceh
4. Menuntut tanah Blang Padang agar segera menjadi aset Pemerintah Aceh
Yulianda menyoroti kejanggalan dalam pendirian Batalion baru di Aceh. Yang semula hanya 4 kini menjadi 6. Ia juga mempertanyakan kembali urgensi menambangun batalion di daerah yang sudah damai sejak 2005 lalu.
“Ini murni pelanggaran MoU Helsingki. Sebagaimana tertera bahwa keberadaan TNI itu hanya boleh 14.700 sementara data saat ini sudah mencapai 18.000. dengan lahirnya batalion baru tentu akan bertambah. Luka masyarakat Aceh belum sembuh. Jika alasannya adalah perekonomian masyarakat, maka pemerintah cukup membangun ekonomi masyarakat tanpa hadir militer,” tegasnya.
Ia juga menyebutkan bila batalion didirikan di Aceh. Ada potensi TNI akan menguasai tanah dan tambang. Sehingga rakyat Aceh tidak mendapatkan kesejahteraan sama sekali.
“Tanah Blang Padang yang sudah puluhan tahun dikuasai TNI kemudian Kolam Tirta Raya. Itu adalah aset Pemerintah Aceh yang harus dikembalikan kepada Aceh. Bukan menjadi miliki negara dan dikuasai oleh TNI. Karena TNI adalah penjaga bukan penguasa,” ujarnya.
Dalam orasinya, Azhar, mayarakat Aceh yang berasal dari Geureudong Pase, Kabupaten Aceh Utara yang juga merupakan mantan kombatan menyebutkan selama ini masyarakat hanya menjadi penonton hasil kekayaan alam dari bumi tempat lahirnya.
“Yang kami rasakan saat ini adalah, kami sebagai bangsa Aceh menjadi penonton di negeri kami sendiri. Minyak di dalam tanah dan di atas pohon kelapa, kami hanya menonton,” ujarnya.
Sebagai mantan kombatan, ia mengaku telah melaksakaan semua arahan pemerintah. Tapi hingga kini masih belum merasakan kesejahtraan.
“Namun sampai saat ini kami tidak mendapat bagian, baik itu lowongan kerja maupun bagian-bagian yang memang wajib kami terima salah satunya adalah kesetaraan mantan kombatan dan juga kesetaraan masyarakat Aceh yang dulunya moyang-moyang kami telah memperjuangkan hingga menjadi NKRI,” pungkasnya.(Oja)







