Acehasia.com | Banda Aceh – Komunikasi kini menjadi senjata utama di era digital. Namun, semakin banyak orang bicara, semakin tampak bahwa tak semua tahu bagaimana caranya berbicara dengan benar. Apalagi di tengah derasnya arus informasi, nilai kejujuran, kehati-hatian, dan empati dalam berkomunikasi mulai terpinggirkan. Dalam situasi seperti ini, ajaran Rasulullah SAW kembali menjadi rujukan penting yang relevan sepanjang zaman.
Salah satu hadis yang berbunyi:
“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah dia berkata yang baik atau diam.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini bukan hanya pesan agama semata. Ia adalah fondasi etika komunikasi yang sangat kuat. Rasulullah tidak mengajarkan kita untuk banyak bicara, tapi untuk bicara yang bermakna. Jika tak bisa membawa manfaat, diam justru lebih mulia.
Bicara yang Bernilai, Bukan Sekadar Viral
Hadis ini menekankan bahwa ucapan seorang Muslim harus mencerminkan imannya. Artinya, setiap kata yang keluar seharusnya melewati proses penyaringan: apakah ini benar? Apakah ini bermanfaat? Apakah ini akan melukai? Prinsip ini sangat dibutuhkan hari ini, terutama dalam budaya komentar cepat dan status impulsif di media sosial.
hadis ini juga membuktikan bahwa sanad (jalur periwayatan) dari hadis ini sangat kuat, diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dua imam hadis paling otoritatif. Ini menandakan bahwa pesan ini bukan sembarangan, tapi berasal dari sumber yang sahih dan bisa dijadikan pedoman hidup.
Mengapa Relevan di Zaman Sekarang?
Di dunia yang penuh ujaran kebencian, hoaks, dan fitnah digital, prinsip “berkata baik atau diam” terdengar seperti nasihat klise. Tapi justru inilah senjata ampuh melawan rusaknya tatanan komunikasi sosial.
Bayangkan jika para pemimpin, tokoh masyarakat, bahkan content creator, menerapkan prinsip ini. Tidak hanya akan mengurangi polusi digital, tapi juga menciptakan ruang diskusi yang sehat dan konstruktif. Komunikasi bukan untuk menang, tapi untuk memahami.
Perspektif Sosiologis: Bicara Bukan Sekadar Ekspresi
Dalam perspektif sosiologi, komunikasi bukan hanya soal menyampaikan informasi, tapi juga membentuk relasi sosial. Ucapan bisa memperkuat solidaritas, tapi juga bisa memecah keharmonisan masyarakat. Oleh karena itu, komunikasi yang etis menjadi bagian dari tanggung jawab sosial setiap individu.
Kajian hadis ini menunjukkan bahwa Islam tidak hanya membahas ibadah spiritual, tapi juga tata laku sosial yang sangat aplikatif. Rasulullah SAW sebagai komunikator sejati memahami bahwa kekuatan sebuah umat tidak terletak pada seberapa banyak mereka berbicara, tapi seberapa manfaat yang dibicarakan. Sebagai penutup, mari renungkan: berapa banyak dari kata-kata kita hari ini yang betul-betul membawa kebaikan? Jika belum banyak, mungkin diam adalah pilihan yang lebih berharga.
Penulis : Penulis Rijalussaumi, Mahasiswa Pascasarjana UIN Ar-Raniry Banda Aceh







