AcehAsia.com | Aceh Besar – Kabupaten Aceh Besar adalah wilayah yang besar bukan hanya dari namanya, tetapi juga dari potensi yang dikandungnya. Membentang dari pegunungan, dataran subur, hingga garis pantai yang luas, Aceh Besar adalah miniatur ekosistem pertanian dan kelautan yang kaya. Namun, di tengah potensi itu, ada satu tantangan yang terus membayangi: belum terwujudnya pengelolaan yang terintegrasi dan maksimal untuk mendorong Aceh Besar menjadi pusat pertumbuhan ekonomi berbasis ekspor.
Padahal, secara geografis dan infrastruktur, Aceh Besar memiliki semua elemen penting untuk menjadi “gateway hub” ekspor komoditi, bukan hanya dari Aceh tetapi juga dari berbagai wilayah di Pulau Sumatera. Potensi ini tidak lagi perlu dicari, melainkan tinggal dihidupkan dengan perencanaan, keberanian, dan aksi nyata.
Letak Strategis: Pintu ke Dunia
Jika kita bicara soal ekspor, maka yang paling mendasar adalah dua hal: akses ke pelabuhan dan akses ke bandar udara. Dalam hal ini, Aceh Besar unggul. Pelabuhan Malahayati yang menjadi salah satu pelabuhan utama ekspor di Aceh, berada di wilayah Aceh Besar. Pelabuhan ini membuka jalur langsung ke Selat Malaka, jalur laut tersibuk kedua di dunia dan berpotensi untuk melayani pasar Timur Tengah dan Asia Selatan secara lebih efisien. Keunggulan geografis ini memberikan keuntungan logistik yang tidak dimiliki oleh banyak daerah lain di Indonesia.
Bahkan jika suatu hari nanti Terusan Kra di Thailand benar-benar terealisasi, posisi geografis Aceh Besar dan Pelabuhan Malahayati tetap akan relevan dan strategis. Pasalnya, kapal-kapal dari Asia Timur dan Timur Tengah yang memilih jalur baru melalui Terusan Kra tetap akan melintasi bagian utara Selat Malaka membuat Aceh tetap berada dalam jalur perdagangan internasional utama. Dengan kata lain, perkembangan infrastruktur global tidak mengurangi pentingnya Aceh dalam peta logistik dunia, justru bisa semakin memperkuatnya sebagai simpul perdagangan dan ekspor yang efisien dari barat Indonesia.
Tak hanya itu, Bandara Internasional Sultan Iskandar Muda (SIM), yang juga berada di Aceh Besar, menjadi pintu gerbang udara dari dan ke Aceh. Dengan sinergi antara pelabuhan dan bandara, Aceh Besar punya posisi istimewa untuk menjadi logistic hub bagi pengiriman komoditi secara darat, laut, dan udara.
Namun sampai hari ini, posisi strategis itu belum diiringi oleh langkah-langkah terstruktur untuk menjadikannya sebagai pusat ekspor komoditi Aceh.
Potensi Komoditi yang Belum Dioptimalkan
Potensi sektor pertanian dan perkebunan Aceh Besar sangat melimpah. Dari dataran tinggi Saree, pegunungan Seulawah, hingga wilayah pesisir seperti Pulau Aceh, semuanya menyimpan keragaman hayati yang tinggi. Komoditas seperti kelapa, pinang, nilam, kopi, kakao, hingga hasil hutan bukan kayu dapat dikembangkan secara sistematis sebagai komoditi ekspor yang berkelanjutan.
Khusus wilayah Pulau Aceh, yang selama ini mungkin terlupakan dalam perencanaan besar, sesungguhnya memiliki posisi emas. Lokasinya sangat dekat dengan Pelabuhan Malahayati dan memiliki potensi besar untuk dikembangkan sebagai sentra pertanian dan kelautan berbasis ekspor.
Dengan pendekatan yang terintegrasi, wilayah-wilayah ini bisa dibangun sebagai zona-zona produksi terfokus. Misalnya, Pulau Aceh untuk komoditas kelapa dan perikanan, Saree untuk kopi dan hortikultura, Seulimum untuk tanaman industri seperti pinang dan nilam. Komoditas-komoditas ini bisa diproses minimal, dikonsolidasikan, lalu diberangkatkan dari pelabuhan di wilayah sendiri memberikan nilai tambah bukan hanya pada produk, tapi juga pada ekonomi daerah.
Peran Pemerintah: Dari Potensi Menuju Road Map
Sejalan dengan rencana pembangunan yang diusung oleh Bupati Aceh Besar terpilih, yang menekankan penguatan sektor pertanian dan perkebunan berbasis masyarakat, kini saatnya langkah nyata diambil. Pemerintah Kabupaten Aceh Besar tidak cukup hanya mendorong peningkatan produksi, tetapi juga perlu menjadi arsitek peta jalan (road map) ekspor daerah.
Road map pengembangan ekspor dari Aceh Besar dapat dimulai dengan melakukan pemetaan komoditas strategis berdasarkan kawasan dan potensi ekspor jangka panjang. Langkah awal ini penting untuk memastikan fokus pengembangan diarahkan pada sektor-sektor unggulan yang berdaya saing tinggi di pasar global. Setelah itu, pembangunan infrastruktur pendukung seperti sentra konsolidasi hasil pertanian berupa export packing house atau gudang transshipment di lokasi yang strategis dekat Pelabuhan Malahayati dan Bandara Sultan Iskandar Muda menjadi prioritas. Fasilitas ini akan mempercepat proses logistik dan menjaga kualitas produk ekspor.
Di sisi lain, keberhasilan ekspor juga bergantung pada kemitraan inklusif antara petani, koperasi, pelaku UMKM, dan eksportir, yang dibangun melalui sistem pembinaan berkelanjutan dari hulu ke hilir sesuai standar ekspor. Untuk memperkuat sinergi, dibutuhkan pembentukan forum koordinasi ekspor daerah sebagai wadah komunikasi efektif antara pemerintah daerah, dunia usaha, dan lembaga pembiayaan.
Terakhir, strategi diplomasi ekonomi lokal harus dioptimalkan dengan mengundang buyer dari kawasan Timur Tengah, Asia Selatan, dan pasar halal global ke Aceh Besar dalam forum-forum bisnis yang terencana. Pendekatan ini tidak hanya membuka peluang pasar, tetapi juga memperkuat posisi Aceh Besar sebagai gerbang ekspor yang kompetitif dan relevan dalam jalur perdagangan dunia.
Langkah ini tidak hanya akan memperkuat ketahanan ekonomi masyarakat, tetapi juga membuka peluang pendapatan asli daerah (PAD) dari sektor ekspor, yang selama ini belum tergarap maksimal.
Ekspor: Lebih dari Sekadar Angka
Mendorong ekspor dari Aceh Besar bukan hanya soal pencapaian angka neraca perdagangan. Ini tentang memperluas cakrawala masyarakat tani dan nelayan, bahwa produk mereka layak untuk pasar dunia. Ini tentang membuka mimpi baru untuk generasi muda bahwa menjadi petani, pekebun, atau pelaku UMKM bisa mendunia jika ditopang sistem yang mendukung.
Kita tidak bisa berharap perubahan besar datang hanya dari luar. Justru peran pemerintah daerah lah yang paling krusial. Pemerintah Aceh Besar perlu memiliki keberanian untuk keluar dari pola lama dan membangun satu sistem baru sistem yang bukan hanya bicara “apa” yang diproduksi, tapi juga “ke mana” dan “bagaimana” hasil bumi itu diberangkatkan.
Sekarang Atau Tidak Sama Sekali
Sudah saatnya Aceh Besar melihat dirinya sebagai penjaga gerbang ekspor Aceh dan Indonesia bagian barat. Dengan pelabuhan utama dan bandara internasional di tangan, dan kekayaan alam di sekelilingnya, Aceh Besar punya semua yang dibutuhkan untuk menjadi gateway hub komoditas regional.
Tugas kita sekarang adalah menyusun langkah, membangun sistem, dan mengambil peluang. Jangan sampai keunggulan geografis dan kekayaan sumber daya yang kita miliki hari ini menjadi cerita tentang “apa yang bisa terjadi tapi tidak dilakukan.”
Membangun Aceh Besar sebagai pusat ekspor bukan lagi sekadar mimpi. Ia adalah kebutuhan. Dan kebutuhan itu harus dijawab dengan visi, kolaborasi, dan aksi konkret.[]







