AcehAsia.com | Aceh Utara – Sudah 26 tahun telah berlalu, namun banyak masyaraka menyayangkan sikap pemerintah yang setengah hati dalam memenuhi hak-hak para korban pelanggaran berat HAM Peristiwa Simpang KKA.
Peristiwa berdarah Simpang KKA terjadi di Dusun Simpang III KKA, Desa Paloh Lada, Kecamatan Dewantara, Aceh Utara, Provinsi Aceh. Hingga hari ini, Pemerintah belum sepenuhnya memenuhi hak-hak korban dan keluarga korban peristiwa tersebut.
Koordinator Forum Komunikasi Korban dan Keluarga Korban Tragedi Simpang KKA (FK3T-SP.KKA)Murtala, sekaligus salah seorang korban pada peristiwa itu, menyatakan bahwa belum terwujudnya pemenuhan hak-haknya korban merupakan bukti bahwa pengabaian dan impunitas negara berlanjut hingga kini.
“Jangankan untuk pembangunan sebuah “Museum Tragedi Simpang KKA” yang diharapkan oleh para korban sebagai bentuk memorialisasi. Untuk pemberdayaan dan pemulihan ekonomi korban, pendidikan anak-anak korban, Jaminan Kesehatan, Jaminan hari tua, atau pengangkatan sebagai PNS, dan lain sebagainya, para korban dan keluarga korban Simpang KKA saja belum menerimanya sebagaimana dijanjikan,” ujar Murtala, Sabtu (3/5/2025).
Peristiwa Simpang KKA adalah sebuah peristiwa Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang Berat yang terjadi pada Senin, 03 Mei 1999. Saat itu, pasukan Tentara Nasional Indonesia (TNI) menembaki massa yang tengah berunjuk rasa lantaran ada insiden penganiayaan warga yang terjadi sebelumnya di desa Lancang Barat, Kemukiman Cot Murong, Kecamatan Dewantara, Aceh Utara.
Peristiwa penembakan atas kerumunan massa tersebut terjadi pada pukul 12.30 WIB. Sedikitnya, 21 orang meninggal dunia dan kurang lebih 146 orang mengalami luka-luka dalam peristiwa berdarah tersebut. Namun, sampai sekarang belum ada upaya serius pemerintah guna penyelesaian secara hukum sebagai bentuk pertanggungjawaban negara.
Peristiwa ini ditetapkan sebagai pelanggaran berat terhadap HAM oleh Komisi Nasional (Komnas) HAM pada 14 Juni 2016 berdasarkan hasil penyelidikan pro-yustisia, sebagaimana mandat ini diatur dalam Pasal 18 Undang-undang (UU) Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
“Sudah kita ketahui bersama, pada 1 Januari 2023, Presiden Joko Widodo kala itu, mengakui peristiwa Simpang KKA 1999 sebagai salah satu dari 12 kasus pelanggaran berat HAM yang terjadi di Indonesia untuk dilakukan penyelesaiannya secara non-yudisial,”jelasanya.
Kala itu, Pemerintah Jokowi menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 17 Tahun 2022 tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat Masa Lalu (PPHAM) dan dilanjutkan dengan Instruksi Presiden (Inpres Nomor 2 Tahun 2023 tentang Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat.
Tim PPHAM yang dibentuk oleh Jokowi saat itu telah melakukan pengambilan data melalui wawancara dengan korban sekaligus verifikasi data terhadap korban Simpang KKA pada 27 September 2023 di kantor Bupati Aceh Utara. Namun sangat disayangkan, tindak lanjut dari pengambilan data tersebut berupa pemulihan hak-hak korban dan keluarga korban peristiwa Simpang KKA tidak pernah dilakukan hingga hari ini.[]







